BAB 1.
21 April 2016, 00.40
Dengan
berat aku beranjak dari kamar menuju halaman depan rumah hanya untuk menyalakan
listrik yang tadi dimatikan oleh seseorang. Akibat itu pula, laporan pekerjaan
yang sedang kubuat sempat tertunda. Andaikata aku tidak menyimpannya terlebih
dahulu, sudah tidak ada jam tidur bagiku malam ini.
Dengan perasaan kesal yang
tersimpan, kupandangi jalanan. "Ini
tengah malam! Apa kalian kurang kerjaan!? Kenapa harus aku!?” teriakku dengan
berharap mereka mau sadar akan kelakuan mereka. Namun,
tidak ada reaksi sedikit pun di sekitar sini, kecuali suara hewan yang mengisi
kesunyian malam.
Kuyakinkan
sekali lagi dengan menarik napas dalam-dalam. "Aku masih banyak kerjaan,
apa kalian tidak mengerti!? Kalau mau usil, lakukan kepada orang lain, jangan
kepadaku! Aku tidak pernah mengganggu kalian sedikitpun!" sambungku.
*Kret....
Terdengar
derit jendela di samping, ketika kutengok ternyata Pa Doni yang membuka jendela
rumahnya sambil menguap.
“Nak
Reza, Ada apa malam-malam begini?”
“Eh!?
Tidak apa, Pa Doni.” Kukibaskan tangan agar Pa Doni tidak mencemaskanku.
“Ya
sudah, jangan begadang,” seru Pa Doni, kemudian menutup jendelanya.
“Iya,
Pa,” balasku sambil menunduk malu, lalu masuk ke dalam rumah, dan menutup
pintu.
Amarah
yang awalnya hinggap, kini berubah menjadi perasaan bersalah karena membuat Pa
Doni terbangun dari tidurnya. Kalau seperti ini, aku tidak ada bedanya dengan
orang-orang jahil itu. Lebih baik besok nanti aku meminta maaf, dan menjelaskan
masalah ini kepadanya.
Meski
begitu, keraguan masih hinggap di benakku. Mana mungkin listrik rumahku mati
tanpa sebab. Terlebih, selama ini aku tidak pernah telat untuk membayar tagihan
listrik.
Apa
memang terjadi sesuatu? Kalau iya, kenapa tidak ada tanda seorang pun berada di
luar rumahku? Apakah mereka sudah pergi? Atau sudah berada di dalam sini?
“Maling?”
Kalau
memang benar, aku harus bagaimana? Membuat masalah saja aku tidak berani,
apalagi berkelahi dengan seseorang, pasti aku dihajar habis-habisan oleh
mereka. Terlebih, para penjahat sekarang ini nekat melakukan sesuatu hanya
untuk mencari makan.
"Ah,
kuperiksa saja."Kumantapkan hati seraya memandang yakin ke depan.
Tidak
ada jalan lain, bukan?
Kakiku
yang masih ragu pun kupaksakan untuk melangkah lebih jauh, sembari mataku
perlahan menyusuri setiap sudut ruangannya. Beruntung, tidak ada sedikit pun
tanda kehidupan di sini selain diriku. Kini, kakiku mulai nyaman untuk kembali
melangkah.
Sekarang
aku sudah berada di dapur, dengan keadaan yang tidak berubah dari sebelumnya.
Aku
yakin, ini semua hanyalah firasat burukku saja. Apalagi mulai tadi pagi aku
belum tidur karena tugas yang menumpuk, jadilah otakku mulai berhalusinasi.
“Huh,
sudahlah,” keluhku, lalu kuputuskan untuk kembali ke kamar dan meneruskan sisa
pekerjaanku yang sempat tertunda.
Tepat
di depan kamar, kakiku terhenti karena suasana di ruangan ini yang terlihat
berbeda.
"Hah?
Apakah aku memang berhalusinasi?"
Tidak
mungkin juga dalam hitungan menit, hampir seluruh kamarku dipenuhi oleh
darah-darah segar, dengan beberapa mayat yang tergeletak di sana.
"…."
Kututup
kedua mataku hanya untuk menenangkan seluruh beban pikiran yang kini mulai
memenuhi otakku.
Hingga,
kubuka kedua mata ini, lalu melihat kembali keadaan kamarku untuk kedua
kalinya. Darah dan mayat, apalagi sekarang aku bisa melihat dengan jelas
beberapa biji bola mata yang berhamburan.
“!”
Tubuhku
bagaikan diikat oleh rantai yang kuat ketika aku mulai merasakan kengeriannya,
bahkan untuk menggerakan jari tanganku saja butuh perjuangan hebat.
“A—apa
yang terjadi!?” bentakku yang butuh beberapa tetes keringat hanya untuk
mengucapkannya.
Ikatan
rantai pun kurasakan semakin kuat, sampai membuat darah yang ada di tubuhku ini
menjadi beku. Baik otot maupun sarafku sudah tidak terkontrol lagi akibatnya.
"Re
… za."
Suara pelan tersebut memberikanku kekuatan untuk menggerakkan sendi di leherku hanya untuk menatapnya—menatapnya dengan jelas. Dia yang mengenakan jaket dan celana jeans yang sudah berlumur darah sedang terduduk lemas di sana, dengan pandangan yang sayup mengarah kepadaku.
"Kiki!?"
Sejak
kapan dia berada di kamarku?
Aku
tidak bisa berpikir jernih sekarang! Hampir seluruh lantai kamarku dipenuhi
oleh yang namanya mayat—layaknya pembantaian—rekan kerjaku. Kiri, kanan, atas,
dan bawah ruangan dihiasi dengan semburan dari darah mereka.
Ini
mengerikan! Apa yang sebenarnya terjadi!?
Mulutku
bergetar ketika gumpalan darah itu perlahan mendekatiku, mendekat bagai
kegelapan yang perlahan menyusuri ruangan.
“Ki—ki!”
Mataku lekat menatapnya, menatap seluruh tubuhnya. Di tangannya tergenggam
sebilah pisau yang berlumuran darah.
Kiki?
Tunggu dulu, kalau menyangkut tentang wanita ini, aku tidak yakin apa yang
barusan kulihat adalah sebuah kenyataan. Bisa jadi ini semua hasil dari
perbuatan jahilnya.
Apa
aku melupakan sesuatu? Di meja kerjaku sendiri terdapat sepotong kue dengan
beberapa lilin yang menancap di atasnya.
Kue?
Astaga, aku lupa hari ini adalah hari ulang tahunku. Betapa bodohnya diriku
ini.
“Kau
selalu nekat, ya?” lanjutku dengan pelan sambil meyakinkan pendapatku.
Kupandang
dia beberapa saat, lalu menghembuskan napas panjang hanya untuk menenangkan
pikiranku. Kemudian, dengan perlahan kumasuki ruangan ini, sambil berjaga-jaga
dikalau salah seorang mayat sialan ini melompat dan mengagetkanku.
“Bukan
aku yang melakukan ini!”
Apa
aku harus peduli? Tentu saja tidak.
Mengingat
kembali tentang kelakuan serta pemikirannya yang sudah berada di batas nekat,
mana mungkin aku bisa menebaknya. Apalagi tentang ulang tahun? Membayangkannya
saja sudah bisa membuat kepalaku pusing.
Lebih
baik kuabaikan wanita penggila kejutan ini, dan mendekati seseorang yang
bersandar di dinding ruangan dengan darah palsu yang sudah menyelimuti tubuhnya.
Aku yakin, dia akan bereaksi terhadapku. “Farid, sudahlah …, aku menyerah,”
pintaku dengan pelan karena aku terlalu mudah untuk terkejut.
Beberapa
detik aku menunggu, tetapi tidak ada juga balasan darinya.
Hingga
aku putuskan untuk menyentuh lehernya. Dingin! Itulah yang kurasakan ketika
jemari ini berada di sana. Cukup dengan sentuhan kecil itu juga, tubuhnya
terjatuh dengan darah yang semakin menyembur keluar dari tubuhnya.
“!”
“Reza,
bukan aku yang melakukan—”
“AAA,
TOLOOONG!!!”
Bagai
dihantam oleh ombak yang deras, tubuhku terhempas mundur karena rasa takut yang
tiba-tiba menyelimutiku. Kembali tubuhku menegang dibuatnya, dengan kedua
mataku yang terbuka lebar, bagai dihipnotis oleh suasana yang ada.
Mustahil,
mustahil, mustahil! Mereka benar-benar terbunuh. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ini mustahil!
*Brag!
Hempasan
pintu depan, dengan langkah kaki langsung mengisi kengerian di tempat ini.
Berteriak saja percuma! Aku bisa mati kalau berada di sini!
Kucoba
untuk bangkit, tetapi Kiki dengan cepat menangkap tubuhku. Darah segar yang
berada di tubuhnya pun ikut merayap ke pakaianku.
“Ampun!
Ampun! Ampuni aku!” teriakku agar dia mau melepaskanku, tetapi dia malah
mengeraskan pegangannya.
*Brug!
Kakiku
refleks menendang tubuhnya karena rasa takutku yang sudah menggila. Tendangan
itu cukup membuat dia terlempar ke samping ruangan, dengan pisau yang sedari
tadi dia genggam juga ikut bersamanya.
Napasku
semakin memburu, dengan keringat yang sudah memenuhi tubuhku. Aku yakin,
sekarang adalah saat yang tepat bagiku untuk menyelamatkan diri.
Kupaksakan
kaki ini untuk berdiri, tetapi tubuhku terjatuh karena tak sengaja menginjak
gumpalan darah yang tanpa kusadari telah memenuhi seluruh lantai ini.
“Apa
yang terjadi!?” seru Pa Doni ketika berada di depan pintu, dengan diiringi
beberapa warga di belakangnya.
“Tolong
sa—”
“Nak
Reza!?” potong Bu Rani dengan kakinya yang bergetar hebat. Apalagi getaran itu
semakin kuat ketika aku menatapnya.
“Bukan
saya, sumpah!” tolakku tanpa pikir panjang lagi. “Kiki yang melakukannya!”
“Bukan!”
seru Kiki yang membuatku berpaling. Dia paksakan kakinya untuk berdiri. “Kami
hanya ingin merayakan ultah Reza!”
“Dengan
darah di tubuh kalian?” tanya Pa Doni menunjuk kami satu per satu.
“Iya,
terima kasih,” sela Bu Rani yang terdengar pelan, lalu menyembunyikan sesuatu
ke dalam sakunya yang kuyakini sebuah Hp.
“Saya
mohon …,” lirihku yang tidak akan pernah bisa mempercayai ini semua.
*Teeot
… Teeot … Teeot …
Gema sirine polisi mulai menyerang gendang telingaku dan menghancurkan konsentrasiku. Hingga, deruan langkah kaki mengambil sisa-sisa harapanku dengan paksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar