Rabu, 05 Juli 2017

My Game!- Bab 1



BAB 1.

21 April 2016, 00.40

Dengan berat aku beranjak dari kamar menuju halaman depan rumah hanya untuk menyalakan listrik yang tadi dimatikan oleh seseorang. Akibat itu pula, laporan pekerjaan yang sedang kubuat sempat tertunda. Andaikata aku tidak menyimpannya terlebih dahulu, sudah tidak ada jam tidur bagiku malam ini.

Dengan perasaan kesal yang tersimpan, kupandangi jalanan. "Ini tengah malam! Apa kalian kurang kerjaan!? Kenapa harus aku!?” teriakku dengan berharap mereka mau sadar akan kelakuan mereka. Namun, tidak ada reaksi sedikit pun di sekitar sini, kecuali suara hewan yang mengisi kesunyian malam. 

Kuyakinkan sekali lagi dengan menarik napas dalam-dalam. "Aku masih banyak kerjaan, apa kalian tidak mengerti!? Kalau mau usil, lakukan kepada orang lain, jangan kepadaku! Aku tidak pernah mengganggu kalian sedikitpun!" sambungku.

*Kret....

Terdengar derit jendela di samping, ketika kutengok ternyata Pa Doni yang membuka jendela rumahnya sambil menguap.

“Nak Reza, Ada apa malam-malam begini?”

“Eh!? Tidak apa, Pa Doni.” Kukibaskan tangan agar Pa Doni tidak mencemaskanku.

“Ya sudah, jangan begadang,” seru Pa Doni, kemudian menutup jendelanya.

“Iya, Pa,” balasku sambil menunduk malu, lalu masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu.

Amarah yang awalnya hinggap, kini berubah menjadi perasaan bersalah karena membuat Pa Doni terbangun dari tidurnya. Kalau seperti ini, aku tidak ada bedanya dengan orang-orang jahil itu. Lebih baik besok nanti aku meminta maaf, dan menjelaskan masalah ini kepadanya.

Meski begitu, keraguan masih hinggap di benakku. Mana mungkin listrik rumahku mati tanpa sebab. Terlebih, selama ini aku tidak pernah telat untuk membayar tagihan listrik.

Apa memang terjadi sesuatu? Kalau iya, kenapa tidak ada tanda seorang pun berada di luar rumahku? Apakah mereka sudah pergi? Atau sudah berada di dalam sini?

“Maling?”

Kalau memang benar, aku harus bagaimana? Membuat masalah saja aku tidak berani, apalagi berkelahi dengan seseorang, pasti aku dihajar habis-habisan oleh mereka. Terlebih, para penjahat sekarang ini nekat melakukan sesuatu hanya untuk mencari makan.

"Ah, kuperiksa saja."Kumantapkan hati seraya memandang yakin ke depan.

Tidak ada jalan lain, bukan?

Kakiku yang masih ragu pun kupaksakan untuk melangkah lebih jauh, sembari mataku perlahan menyusuri setiap sudut ruangannya. Beruntung, tidak ada sedikit pun tanda kehidupan di sini selain diriku. Kini, kakiku mulai nyaman untuk kembali melangkah.

Sekarang aku sudah berada di dapur, dengan keadaan yang tidak berubah dari sebelumnya.
Aku yakin, ini semua hanyalah firasat burukku saja. Apalagi mulai tadi pagi aku belum tidur karena tugas yang menumpuk, jadilah otakku mulai berhalusinasi.

“Huh, sudahlah,” keluhku, lalu kuputuskan untuk kembali ke kamar dan meneruskan sisa pekerjaanku yang sempat tertunda.

Tepat di depan kamar, kakiku terhenti karena suasana di ruangan ini yang terlihat berbeda.

"Hah? Apakah aku memang berhalusinasi?"

Tidak mungkin juga dalam hitungan menit, hampir seluruh kamarku dipenuhi oleh darah-darah segar, dengan beberapa mayat yang tergeletak di sana.

"…."

Kututup kedua mataku hanya untuk menenangkan seluruh beban pikiran yang kini mulai memenuhi otakku.

Hingga, kubuka kedua mata ini, lalu melihat kembali keadaan kamarku untuk kedua kalinya. Darah dan mayat, apalagi sekarang aku bisa melihat dengan jelas beberapa biji bola mata yang berhamburan.

“!”

Tubuhku bagaikan diikat oleh rantai yang kuat ketika aku mulai merasakan kengeriannya, bahkan untuk menggerakan jari tanganku saja butuh perjuangan hebat.

“A—apa yang terjadi!?” bentakku yang butuh beberapa tetes keringat hanya untuk mengucapkannya.
Ikatan rantai pun kurasakan semakin kuat, sampai membuat darah yang ada di tubuhku ini menjadi beku. Baik otot maupun sarafku sudah tidak terkontrol lagi akibatnya.

"Re … za."

Suara pelan tersebut memberikanku kekuatan untuk menggerakkan sendi di leherku hanya untuk menatapnya—menatapnya dengan jelas. Dia yang mengenakan jaket dan celana jeans yang sudah berlumur darah sedang terduduk lemas di sana, dengan pandangan yang sayup mengarah kepadaku.

"Kiki!?"

Sejak kapan dia berada di kamarku?

Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang! Hampir seluruh lantai kamarku dipenuhi oleh yang namanya mayat—layaknya pembantaian—rekan kerjaku. Kiri, kanan, atas, dan bawah ruangan dihiasi dengan semburan dari darah mereka.

Ini mengerikan! Apa yang sebenarnya terjadi!?

Mulutku bergetar ketika gumpalan darah itu perlahan mendekatiku, mendekat bagai kegelapan yang perlahan menyusuri ruangan.

“Ki—ki!” Mataku lekat menatapnya, menatap seluruh tubuhnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berlumuran darah.

Kiki? Tunggu dulu, kalau menyangkut tentang wanita ini, aku tidak yakin apa yang barusan kulihat adalah sebuah kenyataan. Bisa jadi ini semua hasil dari perbuatan jahilnya.

Apa aku melupakan sesuatu? Di meja kerjaku sendiri terdapat sepotong kue dengan beberapa lilin yang menancap di atasnya.

Kue? Astaga, aku lupa hari ini adalah hari ulang tahunku. Betapa bodohnya diriku ini.

“Kau selalu nekat, ya?” lanjutku dengan pelan sambil meyakinkan pendapatku.

Kupandang dia beberapa saat, lalu menghembuskan napas panjang hanya untuk menenangkan pikiranku. Kemudian, dengan perlahan kumasuki ruangan ini, sambil berjaga-jaga dikalau salah seorang mayat sialan ini melompat dan mengagetkanku.

“Bukan aku yang melakukan ini!”

Apa aku harus peduli? Tentu saja tidak.

Mengingat kembali tentang kelakuan serta pemikirannya yang sudah berada di batas nekat, mana mungkin aku bisa menebaknya. Apalagi tentang ulang tahun? Membayangkannya saja sudah bisa membuat kepalaku pusing.

Lebih baik kuabaikan wanita penggila kejutan ini, dan mendekati seseorang yang bersandar di dinding ruangan dengan darah palsu yang sudah menyelimuti tubuhnya. Aku yakin, dia akan bereaksi terhadapku. “Farid, sudahlah …, aku menyerah,” pintaku dengan pelan karena aku terlalu mudah untuk terkejut.

Beberapa detik aku menunggu, tetapi tidak ada juga balasan darinya.

Hingga aku putuskan untuk menyentuh lehernya. Dingin! Itulah yang kurasakan ketika jemari ini berada di sana. Cukup dengan sentuhan kecil itu juga, tubuhnya terjatuh dengan darah yang semakin menyembur keluar dari tubuhnya.

“!”

“Reza, bukan aku yang melakukan—”

“AAA, TOLOOONG!!!”

Bagai dihantam oleh ombak yang deras, tubuhku terhempas mundur karena rasa takut yang tiba-tiba menyelimutiku. Kembali tubuhku menegang dibuatnya, dengan kedua mataku yang terbuka lebar, bagai dihipnotis oleh suasana yang ada.

Mustahil, mustahil, mustahil! Mereka benar-benar terbunuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini mustahil!

*Brag!

Hempasan pintu depan, dengan langkah kaki langsung mengisi kengerian di tempat ini. Berteriak saja percuma! Aku bisa mati kalau berada di sini!

Kucoba untuk bangkit, tetapi Kiki dengan cepat menangkap tubuhku. Darah segar yang berada di tubuhnya pun ikut merayap ke pakaianku.

“Ampun! Ampun! Ampuni aku!” teriakku agar dia mau melepaskanku, tetapi dia malah mengeraskan pegangannya.

*Brug!

Kakiku refleks menendang tubuhnya karena rasa takutku yang sudah menggila. Tendangan itu cukup membuat dia terlempar ke samping ruangan, dengan pisau yang sedari tadi dia genggam juga ikut bersamanya.

Napasku semakin memburu, dengan keringat yang sudah memenuhi tubuhku. Aku yakin, sekarang adalah saat yang tepat bagiku untuk menyelamatkan diri.

Kupaksakan kaki ini untuk berdiri, tetapi tubuhku terjatuh karena tak sengaja menginjak gumpalan darah yang tanpa kusadari telah memenuhi seluruh lantai ini.

“Apa yang terjadi!?” seru Pa Doni ketika berada di depan pintu, dengan diiringi beberapa warga di belakangnya.

“Tolong sa—”

“Nak Reza!?” potong Bu Rani dengan kakinya yang bergetar hebat. Apalagi getaran itu semakin kuat ketika aku menatapnya.

“Bukan saya, sumpah!” tolakku tanpa pikir panjang lagi. “Kiki yang melakukannya!”

“Bukan!” seru Kiki yang membuatku berpaling. Dia paksakan kakinya untuk berdiri. “Kami hanya ingin merayakan ultah Reza!”

“Dengan darah di tubuh kalian?” tanya Pa Doni menunjuk kami satu per satu.

“Iya, terima kasih,” sela Bu Rani yang terdengar pelan, lalu menyembunyikan sesuatu ke dalam sakunya yang kuyakini sebuah Hp.

“Saya mohon …,” lirihku yang tidak akan pernah bisa mempercayai ini semua.

*Teeot … Teeot … Teeot …

Gema sirine polisi mulai menyerang gendang telingaku dan menghancurkan konsentrasiku. Hingga, deruan langkah kaki mengambil sisa-sisa harapanku dengan paksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar