Rabu, 05 Juli 2017

My Game!- Bab 2



BAB 2.

21 April 2016, 01.00

“Huh ….”

“Kapten! Rencana ini berbahaya!” bentak Gilang, lalu menghalangi jalanku.

Kenapa di pikiranmu hanya ada aku, aku, dan aku saja? Apakah kau lupa dengan posisimu sendiri? Aku ini Kapten! Kau tidak punya hak untuk memerintahku! Hembusan napas saja tidak akan cukup untuk menghadapi semua ini, menghadapi sifat kurang ajarmu itu.

Ingin sekali kubalas bentakannya, memasukkan kenyataan ke dalam otak kecilnya, dan melenyapkan keberadaannya dari pandanganku. Namun, semua itu kutahan—sebisa mungkin harus kutahan—karena masih ada sesuatu yang mesti kulakukan. Sesuatu yang lebih penting daripada omong kosong ini.

Untuk kesekian kalinya, kuhembuskan napas panjang hanya untuk menahan amarahku. “Ini rencana terbaik,” balasku sekenanya, lalu berjalan melewati tubuhnya.

*Bang!!!

Hantaman keras antara tangannya dengan dinding mobil, tepat berada di depan wajahku. Seinci lagi, tamparan itu merobek kulitku, meremukkan tengkorakku, dan menghancurkan wajahku tanpa ampun.

“Ini tugas pertamamu, Kapten Nandi! Kalau gagal, reputasimu akan hancur!”

“Berhentilah mengkhawatirkanku!”

“Nandi—”

*Srek … Srek …

Suara gemuruh dari HTyang berada di atas meja, membuat kami berdua terdiam seketika.

“Bom, telah ditemukan, Kapten!”

Kuambil HT tersebut, dan berseru, “Sisanya kuserahkan kepada kalian.” Menaruhnya di pinggangku—di antara lingkaran gesper—lalu menatap Gilang. “Lihat!”

“….”

Kini dia hanya bisa diam membisu, memikirkan tindakan bodohnya sendiri. Kalau saja dia masih melawanku juga, aku tidak akan segan membiusnya dengan obat yang telah kusiapkan khusus untuknya.

“Huh ….”

Kenapa Pa Tua itu menjadikan Gilang sebagai bawahanku? Kalau dia tahu apa yang terjadi sekarang ini, pasti keputusan tersebut akan dipikirkan kembali.

Sekali lagi kuhembuskan napas panjang, lalu keluar dari mobil van hitam ini—yang terparkir di antara mobil pengunjung—dan masuk ke dalam hotel.

Di tangga darurat, kulihat sekawanan teroris berlari cepat menuruninya, masing-masing di tangan mereka terlihat sedang memegang sebuah pistol. Aku yakin, pistol tersebut mereka dapatkan secara illegal.

“Terlalu bodoh,” gumamku, ketika memikirkan apa yang mereka lakukan. Kalau mereka mau bersembunyi di dalam kamar, pasti keberadaan mereka tidak akan ketahuan.

Dengan malas kudekatkan HT di depan mulut, dan berseru pelan, “Target kabur melewati tangga darurat. Alpha, tangkap mereka.”

“Roger!”

“Bravo, status?”

“Bom, sudah kami jinakkan. Perintah selanjutnya?”

“Berhati-hatilah, serangan akan datang.”

“Roger.”

Kutaruh kembali HTku ini di pinggang, dan lanjut menyusuri ruangan lantai 4 ini.

Dengan dinding yang bercat kuning keemasan, dan lantai yang berlapis keramik, sudah cukup untuk menandakan kemewahan hotel ini. Apalagi, di setiap pintu lift, terpajang cermin yang besar.

Ketika kuperhatikan cermin itu, tanpa sengaja mataku tertuju ke pintu lift dikarenakan nomornya yang membutuhkan jeda sedikit lebih lama dari biasanya. Di angka 6—bagaikan nomor sial—perbedaan itu tercipta. Mungkin, seseorang mencoba kabur dari atas sana.

Kutekan tombol lift, lalu memegang pistol berjenis eagle kesayanganku. Aku berani bertaruh, dalam hitungan menit, tempat ini akan menjadi berisik.

*Kring!!!

Kuarahkan ujung pistolku tepat ke depan pintu lift—di tengah-tengah persegi dari celahnya.

Konsentrasiku seketika meningkat, dan berkat itu juga, semua yang berada di sekitarku terasa melambat. Hingga, kebosanan yang tadi sempat kutahan kembali menyerang.

*Dor! Dor! Dor!

Adu tembakan di lantai atas pun terjadi, dengan suasana yang ada di hotel ini berubah drastis.

“Huh …,” desahku, dengan peyesalan yang hinggap di benakku karena apa yang kupredikisi terjadi.

Menunggu hanya akan menambah kebosananku saja. Lebih baik aku memperhatikan seluruh ruangan dan menikmati setiap sudutnya yang mulai menjadi tempat sirkus—dengan hempasan pintu, hentakan kaki, dan teriakan histeris—dari pengunjung hotel. Mereka berhamburan ke sana ke mari mendengar adu tembakan yang terjadi di lantai lima ini. Bagaikan semut-semut kecil ketika sarangnya di siram air panas. Takut dan pasrah.

"Heh, menyedihkan—."

*Brug!

Tendangan keras membuatku terpental cukup jauh, dengan pistol kesayanganku yang terlepas dari kedua tangan ini.

Menyebalkan! Rasa sakitku semakin bertambah ketika jeritan para pengunjung menjadi-jadi. Bahkan, untuk berdiri saja aku tidak sanggup.

"Sialan ...," geramku mencoba untuk melihat lebih jelas siapa orang yang tadi menendangku.

Seorang laki-laki mengenakan jaket kulit, dan celana boxer tepat berada di depanku. Wajahnya yang tertutupi oleh bandana hitam itu cukup untuk menyamarkan identitasnya. Di tangan kirinya, terpegang sebuah koper hitam, dengan tangan kanannya yang sigap mengambil pistol milikku.

“Selamat tinggal, Bitch!” bentaknya seraya mengarahkan ujung pistol tepat ke wajahku.

Aku merasa, inilah yang terbaik bagiku. Dibunuh dengan pistol kesayanganku sendiri, tanpa seorangpun yang akan menolongku. Kalau kupikir-pikir lagi, aku juga sudah bosan menjalani hidup di dunia ini. Di dunia busuk dan hina ini.

Kututup mataku dengan senyuman hangat.

*Dor! Dor! Dor!

“…….”

Apakah aku sudah mati? Lebih baik kupastikan dulu.

Dengan pelan kubuka kelopak mataku, dan berharap apa yang kulihat selanjutnya adalah neraka. Namun kenyataannya, aku masih melihat lelaki tersebut. Dua tembakan yang bersarang di dada membuatnya tumbang, dengan satu tembakan merobek tas hitam miliknya, dan menyebabkan uang yang ada di dalamnya berterbangan di udara.

“Kapten!” Gilang berlari menghampiriku, lalu memberikan tangannya.

Lelaki ini, selalu saja menghancurkan semuanya. Bahkan, kematianku pun menjadi sia-sia karena keberadaannya. Apa dia tidak bisa membuatku bangga sedikit pun?

“Lupakan,” tolakku dan memaksakan kaki ini untuk berdiri. “Aku tidak butuh bawahan sepertimu.” 
Lalu berjalan menuju tempat parkir.

Ketika di luar hotel, aku teringat dengan para bawahanku. Terpaksa kuambil HT yang masih berada di pinggang. “Alpha …, Bravo …, Status!?” tekanku ketika mulai merasakan sengatan keras di bagian perut akibat tendangan tadi.

“Semua terkendali! Tiga anggota terluka ringan!”

“Sekawanan yang kabur berhasil kami tangkap!”

“Oke! Sisanya, kuserahkan kepada kalian!”

“Roger!”

Panggilan telah berhenti, tetapi rasa sakit yang kuderita semakin menjadi-jadi. Hingga, baru kusadari cairan hangat serta lengket sudah memenuhi telapak tanganku.

“Ah, membosankan ….”
*Brug!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar