BAB 2.
21 April 2016, 01.00
“Huh
….”
“Kapten!
Rencana ini berbahaya!” bentak Gilang, lalu menghalangi jalanku.
Kenapa
di pikiranmu hanya ada aku, aku, dan aku saja? Apakah kau lupa dengan posisimu
sendiri? Aku ini Kapten! Kau tidak punya hak untuk memerintahku! Hembusan napas
saja tidak akan cukup untuk menghadapi semua ini, menghadapi sifat kurang
ajarmu itu.
Ingin
sekali kubalas bentakannya, memasukkan kenyataan ke dalam otak kecilnya, dan
melenyapkan keberadaannya dari pandanganku. Namun, semua itu kutahan—sebisa
mungkin harus kutahan—karena masih ada sesuatu yang mesti kulakukan. Sesuatu
yang lebih penting daripada omong kosong ini.
Untuk
kesekian kalinya, kuhembuskan napas panjang hanya untuk menahan amarahku. “Ini
rencana terbaik,” balasku sekenanya, lalu berjalan melewati tubuhnya.
*Bang!!!
Hantaman
keras antara tangannya dengan dinding mobil, tepat berada di depan wajahku.
Seinci lagi, tamparan itu merobek kulitku, meremukkan tengkorakku, dan
menghancurkan wajahku tanpa ampun.
“Ini
tugas pertamamu, Kapten Nandi! Kalau gagal, reputasimu akan hancur!”
“Berhentilah
mengkhawatirkanku!”
“Nandi—”
*Srek
… Srek …
Suara
gemuruh dari HTyang berada di atas meja, membuat kami berdua terdiam seketika.
“Bom,
telah ditemukan, Kapten!”
Kuambil
HT tersebut, dan berseru, “Sisanya kuserahkan kepada kalian.” Menaruhnya di
pinggangku—di antara lingkaran gesper—lalu menatap Gilang. “Lihat!”
“….”
Kini
dia hanya bisa diam membisu, memikirkan tindakan bodohnya sendiri. Kalau saja
dia masih melawanku juga, aku tidak akan segan membiusnya dengan obat yang
telah kusiapkan khusus untuknya.
“Huh
….”
Kenapa
Pa Tua itu menjadikan Gilang sebagai bawahanku? Kalau dia tahu apa yang terjadi
sekarang ini, pasti keputusan tersebut akan dipikirkan kembali.
Sekali
lagi kuhembuskan napas panjang, lalu keluar dari mobil van hitam ini—yang
terparkir di antara mobil pengunjung—dan masuk ke dalam hotel.
Di
tangga darurat, kulihat sekawanan teroris berlari cepat menuruninya,
masing-masing di tangan mereka terlihat sedang memegang sebuah pistol. Aku
yakin, pistol tersebut mereka dapatkan secara illegal.
“Terlalu
bodoh,” gumamku, ketika memikirkan apa yang mereka lakukan. Kalau mereka mau
bersembunyi di dalam kamar, pasti keberadaan mereka tidak akan ketahuan.
Dengan
malas kudekatkan HT di depan mulut, dan berseru pelan, “Target kabur melewati
tangga darurat. Alpha, tangkap mereka.”
“Roger!”
“Bravo,
status?”
“Bom,
sudah kami jinakkan. Perintah selanjutnya?”
“Berhati-hatilah,
serangan akan datang.”
“Roger.”
Kutaruh
kembali HTku ini di pinggang, dan lanjut menyusuri ruangan lantai 4 ini.
Dengan
dinding yang bercat kuning keemasan, dan lantai yang berlapis keramik, sudah
cukup untuk menandakan kemewahan hotel ini. Apalagi, di setiap pintu lift,
terpajang cermin yang besar.
Ketika
kuperhatikan cermin itu, tanpa sengaja mataku tertuju ke pintu lift dikarenakan
nomornya yang membutuhkan jeda sedikit lebih lama dari biasanya. Di angka
6—bagaikan nomor sial—perbedaan itu tercipta. Mungkin, seseorang mencoba kabur
dari atas sana.
Kutekan
tombol lift, lalu memegang pistol berjenis eagle kesayanganku. Aku berani bertaruh,
dalam hitungan menit, tempat ini akan menjadi berisik.
*Kring!!!
Kuarahkan
ujung pistolku tepat ke depan pintu lift—di tengah-tengah persegi dari
celahnya.
Konsentrasiku
seketika meningkat, dan berkat itu juga, semua yang berada di sekitarku terasa
melambat. Hingga, kebosanan yang tadi sempat kutahan kembali menyerang.
*Dor!
Dor! Dor!
Adu
tembakan di lantai atas pun terjadi, dengan suasana yang ada di hotel ini
berubah drastis.
“Huh
…,” desahku, dengan peyesalan yang hinggap di benakku karena apa yang
kupredikisi terjadi.
Menunggu
hanya akan menambah kebosananku saja. Lebih baik aku memperhatikan seluruh
ruangan dan menikmati setiap sudutnya yang mulai menjadi tempat sirkus—dengan
hempasan pintu, hentakan kaki, dan teriakan histeris—dari pengunjung hotel.
Mereka berhamburan ke sana ke mari mendengar adu tembakan yang terjadi di
lantai lima ini. Bagaikan semut-semut kecil ketika sarangnya di siram air
panas. Takut dan pasrah.
"Heh,
menyedihkan—."
*Brug!
Tendangan
keras membuatku terpental cukup jauh, dengan pistol kesayanganku yang terlepas
dari kedua tangan ini.
Menyebalkan!
Rasa sakitku semakin bertambah ketika jeritan para pengunjung menjadi-jadi.
Bahkan, untuk berdiri saja aku tidak sanggup.
"Sialan
...," geramku mencoba untuk melihat lebih jelas siapa orang yang tadi
menendangku.
Seorang
laki-laki mengenakan jaket kulit, dan celana boxer tepat berada di depanku.
Wajahnya yang tertutupi oleh bandana hitam itu cukup untuk menyamarkan
identitasnya. Di tangan kirinya, terpegang sebuah koper hitam, dengan tangan
kanannya yang sigap mengambil pistol milikku.
“Selamat
tinggal, Bitch!” bentaknya seraya mengarahkan ujung pistol tepat ke wajahku.
Aku
merasa, inilah yang terbaik bagiku. Dibunuh dengan pistol kesayanganku sendiri,
tanpa seorangpun yang akan menolongku. Kalau kupikir-pikir lagi, aku juga sudah
bosan menjalani hidup di dunia ini. Di dunia busuk dan hina ini.
Kututup
mataku dengan senyuman hangat.
*Dor!
Dor! Dor!
“…….”
Apakah
aku sudah mati? Lebih baik kupastikan dulu.
Dengan
pelan kubuka kelopak mataku, dan berharap apa yang kulihat selanjutnya adalah
neraka. Namun kenyataannya, aku masih melihat lelaki tersebut. Dua tembakan
yang bersarang di dada membuatnya tumbang, dengan satu tembakan merobek tas
hitam miliknya, dan menyebabkan uang yang ada di dalamnya berterbangan di
udara.
“Kapten!”
Gilang berlari menghampiriku, lalu memberikan tangannya.
Lelaki
ini, selalu saja menghancurkan semuanya. Bahkan, kematianku pun menjadi sia-sia
karena keberadaannya. Apa dia tidak bisa membuatku bangga sedikit pun?
“Lupakan,”
tolakku dan memaksakan kaki ini untuk berdiri. “Aku tidak butuh bawahan
sepertimu.”
Lalu berjalan menuju tempat parkir.
Ketika
di luar hotel, aku teringat dengan para bawahanku. Terpaksa kuambil HT yang
masih berada di pinggang. “Alpha …, Bravo …, Status!?” tekanku ketika mulai
merasakan sengatan keras di bagian perut akibat tendangan tadi.
“Semua
terkendali! Tiga anggota terluka ringan!”
“Sekawanan
yang kabur berhasil kami tangkap!”
“Oke!
Sisanya, kuserahkan kepada kalian!”
“Roger!”
Panggilan
telah berhenti, tetapi rasa sakit yang kuderita semakin menjadi-jadi. Hingga,
baru kusadari cairan hangat serta lengket sudah memenuhi telapak tanganku.
“Ah,
membosankan ….”
*Brug!