Rabu, 05 Juli 2017

My Game!- Bab 2



BAB 2.

21 April 2016, 01.00

“Huh ….”

“Kapten! Rencana ini berbahaya!” bentak Gilang, lalu menghalangi jalanku.

Kenapa di pikiranmu hanya ada aku, aku, dan aku saja? Apakah kau lupa dengan posisimu sendiri? Aku ini Kapten! Kau tidak punya hak untuk memerintahku! Hembusan napas saja tidak akan cukup untuk menghadapi semua ini, menghadapi sifat kurang ajarmu itu.

Ingin sekali kubalas bentakannya, memasukkan kenyataan ke dalam otak kecilnya, dan melenyapkan keberadaannya dari pandanganku. Namun, semua itu kutahan—sebisa mungkin harus kutahan—karena masih ada sesuatu yang mesti kulakukan. Sesuatu yang lebih penting daripada omong kosong ini.

Untuk kesekian kalinya, kuhembuskan napas panjang hanya untuk menahan amarahku. “Ini rencana terbaik,” balasku sekenanya, lalu berjalan melewati tubuhnya.

*Bang!!!

Hantaman keras antara tangannya dengan dinding mobil, tepat berada di depan wajahku. Seinci lagi, tamparan itu merobek kulitku, meremukkan tengkorakku, dan menghancurkan wajahku tanpa ampun.

“Ini tugas pertamamu, Kapten Nandi! Kalau gagal, reputasimu akan hancur!”

“Berhentilah mengkhawatirkanku!”

“Nandi—”

*Srek … Srek …

Suara gemuruh dari HTyang berada di atas meja, membuat kami berdua terdiam seketika.

“Bom, telah ditemukan, Kapten!”

Kuambil HT tersebut, dan berseru, “Sisanya kuserahkan kepada kalian.” Menaruhnya di pinggangku—di antara lingkaran gesper—lalu menatap Gilang. “Lihat!”

“….”

Kini dia hanya bisa diam membisu, memikirkan tindakan bodohnya sendiri. Kalau saja dia masih melawanku juga, aku tidak akan segan membiusnya dengan obat yang telah kusiapkan khusus untuknya.

“Huh ….”

Kenapa Pa Tua itu menjadikan Gilang sebagai bawahanku? Kalau dia tahu apa yang terjadi sekarang ini, pasti keputusan tersebut akan dipikirkan kembali.

Sekali lagi kuhembuskan napas panjang, lalu keluar dari mobil van hitam ini—yang terparkir di antara mobil pengunjung—dan masuk ke dalam hotel.

Di tangga darurat, kulihat sekawanan teroris berlari cepat menuruninya, masing-masing di tangan mereka terlihat sedang memegang sebuah pistol. Aku yakin, pistol tersebut mereka dapatkan secara illegal.

“Terlalu bodoh,” gumamku, ketika memikirkan apa yang mereka lakukan. Kalau mereka mau bersembunyi di dalam kamar, pasti keberadaan mereka tidak akan ketahuan.

Dengan malas kudekatkan HT di depan mulut, dan berseru pelan, “Target kabur melewati tangga darurat. Alpha, tangkap mereka.”

“Roger!”

“Bravo, status?”

“Bom, sudah kami jinakkan. Perintah selanjutnya?”

“Berhati-hatilah, serangan akan datang.”

“Roger.”

Kutaruh kembali HTku ini di pinggang, dan lanjut menyusuri ruangan lantai 4 ini.

Dengan dinding yang bercat kuning keemasan, dan lantai yang berlapis keramik, sudah cukup untuk menandakan kemewahan hotel ini. Apalagi, di setiap pintu lift, terpajang cermin yang besar.

Ketika kuperhatikan cermin itu, tanpa sengaja mataku tertuju ke pintu lift dikarenakan nomornya yang membutuhkan jeda sedikit lebih lama dari biasanya. Di angka 6—bagaikan nomor sial—perbedaan itu tercipta. Mungkin, seseorang mencoba kabur dari atas sana.

Kutekan tombol lift, lalu memegang pistol berjenis eagle kesayanganku. Aku berani bertaruh, dalam hitungan menit, tempat ini akan menjadi berisik.

*Kring!!!

Kuarahkan ujung pistolku tepat ke depan pintu lift—di tengah-tengah persegi dari celahnya.

Konsentrasiku seketika meningkat, dan berkat itu juga, semua yang berada di sekitarku terasa melambat. Hingga, kebosanan yang tadi sempat kutahan kembali menyerang.

*Dor! Dor! Dor!

Adu tembakan di lantai atas pun terjadi, dengan suasana yang ada di hotel ini berubah drastis.

“Huh …,” desahku, dengan peyesalan yang hinggap di benakku karena apa yang kupredikisi terjadi.

Menunggu hanya akan menambah kebosananku saja. Lebih baik aku memperhatikan seluruh ruangan dan menikmati setiap sudutnya yang mulai menjadi tempat sirkus—dengan hempasan pintu, hentakan kaki, dan teriakan histeris—dari pengunjung hotel. Mereka berhamburan ke sana ke mari mendengar adu tembakan yang terjadi di lantai lima ini. Bagaikan semut-semut kecil ketika sarangnya di siram air panas. Takut dan pasrah.

"Heh, menyedihkan—."

*Brug!

Tendangan keras membuatku terpental cukup jauh, dengan pistol kesayanganku yang terlepas dari kedua tangan ini.

Menyebalkan! Rasa sakitku semakin bertambah ketika jeritan para pengunjung menjadi-jadi. Bahkan, untuk berdiri saja aku tidak sanggup.

"Sialan ...," geramku mencoba untuk melihat lebih jelas siapa orang yang tadi menendangku.

Seorang laki-laki mengenakan jaket kulit, dan celana boxer tepat berada di depanku. Wajahnya yang tertutupi oleh bandana hitam itu cukup untuk menyamarkan identitasnya. Di tangan kirinya, terpegang sebuah koper hitam, dengan tangan kanannya yang sigap mengambil pistol milikku.

“Selamat tinggal, Bitch!” bentaknya seraya mengarahkan ujung pistol tepat ke wajahku.

Aku merasa, inilah yang terbaik bagiku. Dibunuh dengan pistol kesayanganku sendiri, tanpa seorangpun yang akan menolongku. Kalau kupikir-pikir lagi, aku juga sudah bosan menjalani hidup di dunia ini. Di dunia busuk dan hina ini.

Kututup mataku dengan senyuman hangat.

*Dor! Dor! Dor!

“…….”

Apakah aku sudah mati? Lebih baik kupastikan dulu.

Dengan pelan kubuka kelopak mataku, dan berharap apa yang kulihat selanjutnya adalah neraka. Namun kenyataannya, aku masih melihat lelaki tersebut. Dua tembakan yang bersarang di dada membuatnya tumbang, dengan satu tembakan merobek tas hitam miliknya, dan menyebabkan uang yang ada di dalamnya berterbangan di udara.

“Kapten!” Gilang berlari menghampiriku, lalu memberikan tangannya.

Lelaki ini, selalu saja menghancurkan semuanya. Bahkan, kematianku pun menjadi sia-sia karena keberadaannya. Apa dia tidak bisa membuatku bangga sedikit pun?

“Lupakan,” tolakku dan memaksakan kaki ini untuk berdiri. “Aku tidak butuh bawahan sepertimu.” 
Lalu berjalan menuju tempat parkir.

Ketika di luar hotel, aku teringat dengan para bawahanku. Terpaksa kuambil HT yang masih berada di pinggang. “Alpha …, Bravo …, Status!?” tekanku ketika mulai merasakan sengatan keras di bagian perut akibat tendangan tadi.

“Semua terkendali! Tiga anggota terluka ringan!”

“Sekawanan yang kabur berhasil kami tangkap!”

“Oke! Sisanya, kuserahkan kepada kalian!”

“Roger!”

Panggilan telah berhenti, tetapi rasa sakit yang kuderita semakin menjadi-jadi. Hingga, baru kusadari cairan hangat serta lengket sudah memenuhi telapak tanganku.

“Ah, membosankan ….”
*Brug!

My Game!- Bab 1



BAB 1.

21 April 2016, 00.40

Dengan berat aku beranjak dari kamar menuju halaman depan rumah hanya untuk menyalakan listrik yang tadi dimatikan oleh seseorang. Akibat itu pula, laporan pekerjaan yang sedang kubuat sempat tertunda. Andaikata aku tidak menyimpannya terlebih dahulu, sudah tidak ada jam tidur bagiku malam ini.

Dengan perasaan kesal yang tersimpan, kupandangi jalanan. "Ini tengah malam! Apa kalian kurang kerjaan!? Kenapa harus aku!?” teriakku dengan berharap mereka mau sadar akan kelakuan mereka. Namun, tidak ada reaksi sedikit pun di sekitar sini, kecuali suara hewan yang mengisi kesunyian malam. 

Kuyakinkan sekali lagi dengan menarik napas dalam-dalam. "Aku masih banyak kerjaan, apa kalian tidak mengerti!? Kalau mau usil, lakukan kepada orang lain, jangan kepadaku! Aku tidak pernah mengganggu kalian sedikitpun!" sambungku.

*Kret....

Terdengar derit jendela di samping, ketika kutengok ternyata Pa Doni yang membuka jendela rumahnya sambil menguap.

“Nak Reza, Ada apa malam-malam begini?”

“Eh!? Tidak apa, Pa Doni.” Kukibaskan tangan agar Pa Doni tidak mencemaskanku.

“Ya sudah, jangan begadang,” seru Pa Doni, kemudian menutup jendelanya.

“Iya, Pa,” balasku sambil menunduk malu, lalu masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu.

Amarah yang awalnya hinggap, kini berubah menjadi perasaan bersalah karena membuat Pa Doni terbangun dari tidurnya. Kalau seperti ini, aku tidak ada bedanya dengan orang-orang jahil itu. Lebih baik besok nanti aku meminta maaf, dan menjelaskan masalah ini kepadanya.

Meski begitu, keraguan masih hinggap di benakku. Mana mungkin listrik rumahku mati tanpa sebab. Terlebih, selama ini aku tidak pernah telat untuk membayar tagihan listrik.

Apa memang terjadi sesuatu? Kalau iya, kenapa tidak ada tanda seorang pun berada di luar rumahku? Apakah mereka sudah pergi? Atau sudah berada di dalam sini?

“Maling?”

Kalau memang benar, aku harus bagaimana? Membuat masalah saja aku tidak berani, apalagi berkelahi dengan seseorang, pasti aku dihajar habis-habisan oleh mereka. Terlebih, para penjahat sekarang ini nekat melakukan sesuatu hanya untuk mencari makan.

"Ah, kuperiksa saja."Kumantapkan hati seraya memandang yakin ke depan.

Tidak ada jalan lain, bukan?

Kakiku yang masih ragu pun kupaksakan untuk melangkah lebih jauh, sembari mataku perlahan menyusuri setiap sudut ruangannya. Beruntung, tidak ada sedikit pun tanda kehidupan di sini selain diriku. Kini, kakiku mulai nyaman untuk kembali melangkah.

Sekarang aku sudah berada di dapur, dengan keadaan yang tidak berubah dari sebelumnya.
Aku yakin, ini semua hanyalah firasat burukku saja. Apalagi mulai tadi pagi aku belum tidur karena tugas yang menumpuk, jadilah otakku mulai berhalusinasi.

“Huh, sudahlah,” keluhku, lalu kuputuskan untuk kembali ke kamar dan meneruskan sisa pekerjaanku yang sempat tertunda.

Tepat di depan kamar, kakiku terhenti karena suasana di ruangan ini yang terlihat berbeda.

"Hah? Apakah aku memang berhalusinasi?"

Tidak mungkin juga dalam hitungan menit, hampir seluruh kamarku dipenuhi oleh darah-darah segar, dengan beberapa mayat yang tergeletak di sana.

"…."

Kututup kedua mataku hanya untuk menenangkan seluruh beban pikiran yang kini mulai memenuhi otakku.

Hingga, kubuka kedua mata ini, lalu melihat kembali keadaan kamarku untuk kedua kalinya. Darah dan mayat, apalagi sekarang aku bisa melihat dengan jelas beberapa biji bola mata yang berhamburan.

“!”

Tubuhku bagaikan diikat oleh rantai yang kuat ketika aku mulai merasakan kengeriannya, bahkan untuk menggerakan jari tanganku saja butuh perjuangan hebat.

“A—apa yang terjadi!?” bentakku yang butuh beberapa tetes keringat hanya untuk mengucapkannya.
Ikatan rantai pun kurasakan semakin kuat, sampai membuat darah yang ada di tubuhku ini menjadi beku. Baik otot maupun sarafku sudah tidak terkontrol lagi akibatnya.

"Re … za."

Suara pelan tersebut memberikanku kekuatan untuk menggerakkan sendi di leherku hanya untuk menatapnya—menatapnya dengan jelas. Dia yang mengenakan jaket dan celana jeans yang sudah berlumur darah sedang terduduk lemas di sana, dengan pandangan yang sayup mengarah kepadaku.

"Kiki!?"

Sejak kapan dia berada di kamarku?

Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang! Hampir seluruh lantai kamarku dipenuhi oleh yang namanya mayat—layaknya pembantaian—rekan kerjaku. Kiri, kanan, atas, dan bawah ruangan dihiasi dengan semburan dari darah mereka.

Ini mengerikan! Apa yang sebenarnya terjadi!?

Mulutku bergetar ketika gumpalan darah itu perlahan mendekatiku, mendekat bagai kegelapan yang perlahan menyusuri ruangan.

“Ki—ki!” Mataku lekat menatapnya, menatap seluruh tubuhnya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau yang berlumuran darah.

Kiki? Tunggu dulu, kalau menyangkut tentang wanita ini, aku tidak yakin apa yang barusan kulihat adalah sebuah kenyataan. Bisa jadi ini semua hasil dari perbuatan jahilnya.

Apa aku melupakan sesuatu? Di meja kerjaku sendiri terdapat sepotong kue dengan beberapa lilin yang menancap di atasnya.

Kue? Astaga, aku lupa hari ini adalah hari ulang tahunku. Betapa bodohnya diriku ini.

“Kau selalu nekat, ya?” lanjutku dengan pelan sambil meyakinkan pendapatku.

Kupandang dia beberapa saat, lalu menghembuskan napas panjang hanya untuk menenangkan pikiranku. Kemudian, dengan perlahan kumasuki ruangan ini, sambil berjaga-jaga dikalau salah seorang mayat sialan ini melompat dan mengagetkanku.

“Bukan aku yang melakukan ini!”

Apa aku harus peduli? Tentu saja tidak.

Mengingat kembali tentang kelakuan serta pemikirannya yang sudah berada di batas nekat, mana mungkin aku bisa menebaknya. Apalagi tentang ulang tahun? Membayangkannya saja sudah bisa membuat kepalaku pusing.

Lebih baik kuabaikan wanita penggila kejutan ini, dan mendekati seseorang yang bersandar di dinding ruangan dengan darah palsu yang sudah menyelimuti tubuhnya. Aku yakin, dia akan bereaksi terhadapku. “Farid, sudahlah …, aku menyerah,” pintaku dengan pelan karena aku terlalu mudah untuk terkejut.

Beberapa detik aku menunggu, tetapi tidak ada juga balasan darinya.

Hingga aku putuskan untuk menyentuh lehernya. Dingin! Itulah yang kurasakan ketika jemari ini berada di sana. Cukup dengan sentuhan kecil itu juga, tubuhnya terjatuh dengan darah yang semakin menyembur keluar dari tubuhnya.

“!”

“Reza, bukan aku yang melakukan—”

“AAA, TOLOOONG!!!”

Bagai dihantam oleh ombak yang deras, tubuhku terhempas mundur karena rasa takut yang tiba-tiba menyelimutiku. Kembali tubuhku menegang dibuatnya, dengan kedua mataku yang terbuka lebar, bagai dihipnotis oleh suasana yang ada.

Mustahil, mustahil, mustahil! Mereka benar-benar terbunuh. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini mustahil!

*Brag!

Hempasan pintu depan, dengan langkah kaki langsung mengisi kengerian di tempat ini. Berteriak saja percuma! Aku bisa mati kalau berada di sini!

Kucoba untuk bangkit, tetapi Kiki dengan cepat menangkap tubuhku. Darah segar yang berada di tubuhnya pun ikut merayap ke pakaianku.

“Ampun! Ampun! Ampuni aku!” teriakku agar dia mau melepaskanku, tetapi dia malah mengeraskan pegangannya.

*Brug!

Kakiku refleks menendang tubuhnya karena rasa takutku yang sudah menggila. Tendangan itu cukup membuat dia terlempar ke samping ruangan, dengan pisau yang sedari tadi dia genggam juga ikut bersamanya.

Napasku semakin memburu, dengan keringat yang sudah memenuhi tubuhku. Aku yakin, sekarang adalah saat yang tepat bagiku untuk menyelamatkan diri.

Kupaksakan kaki ini untuk berdiri, tetapi tubuhku terjatuh karena tak sengaja menginjak gumpalan darah yang tanpa kusadari telah memenuhi seluruh lantai ini.

“Apa yang terjadi!?” seru Pa Doni ketika berada di depan pintu, dengan diiringi beberapa warga di belakangnya.

“Tolong sa—”

“Nak Reza!?” potong Bu Rani dengan kakinya yang bergetar hebat. Apalagi getaran itu semakin kuat ketika aku menatapnya.

“Bukan saya, sumpah!” tolakku tanpa pikir panjang lagi. “Kiki yang melakukannya!”

“Bukan!” seru Kiki yang membuatku berpaling. Dia paksakan kakinya untuk berdiri. “Kami hanya ingin merayakan ultah Reza!”

“Dengan darah di tubuh kalian?” tanya Pa Doni menunjuk kami satu per satu.

“Iya, terima kasih,” sela Bu Rani yang terdengar pelan, lalu menyembunyikan sesuatu ke dalam sakunya yang kuyakini sebuah Hp.

“Saya mohon …,” lirihku yang tidak akan pernah bisa mempercayai ini semua.

*Teeot … Teeot … Teeot …

Gema sirine polisi mulai menyerang gendang telingaku dan menghancurkan konsentrasiku. Hingga, deruan langkah kaki mengambil sisa-sisa harapanku dengan paksa.

My Game!- Prolog



PROLOG

Di sebuah grup chat tahun 2000-an.
PERKUMPULAN CILIK
>>B, C, memasuki ruangan.
A—[Selamat datang di perkumpulan cilik]
B—[Omong kosong!]

C—[Aku boleh di sini, kan? Aku masih anak-anak]

A—[B, Tidak sopan. Siapa kau?]

B—[Aku ke sini mencari sekutu]

A—[Ini istanaku, jadi akulah Ratunya di sini!]

C—[Halloo…]

A—[C, Maaf mengabaikanmu, kau seperti karakter sampingan bagiku]

C—[Karakter sampingan itu apa?]

B—[A, Ratu? Aku bisa membuatmu masuk penjara kalau berbicara kasar]

A—[C, Lupakan saja] [B, Memangnya kau siapa? Aku ini Ratu!!!]

B—[A, Asal kau tahu, cita-citaku akan menjadi seorang detektif]

A—[B, Ckckck. Di Indonesia tidak ada detektif]

B—[A, Aku sudah diberi tahu tante, tetapi akan kucari pekerjaan yang serupa dengan itu]

A—[B,  Kalau kau detektif, aku akan menjadi pemimpin. Akulah Ratu kalian!]

C—[Aku harus jadi apa?]

>>D, memasuki ruangan.

D—[Halo…]

>>A, mengusir D

B—[A, Kenapa diusir?]

A—[Dari kemarin, dia selalu ke sini. Dia orang dewasa yang jahat!]

>>D, memasuki ruangan.

D—[A, Kurang ajar kau gadis kecil]

C—[Selamat datang]

B—[C, Dia orang jahat, hati-hati!]

D—[Ahahaha! Baru saja masuk, sudah dihina]

A—[C, Dia pedofil, Hati-hati!]

B—[D, Mesum]

C—[Pedofil itu apa?]

D—[C, Pedofil itu pujian untuk laki-laki ganteng]

A—[D, Hueekk … Jijik! Kau sudah tua, tinggal menunggu ajal saja!]

B—[Berbahaya!]

A—[B, Siksa dia!]

D—[A, Untuk ukuran gadis kecil, mulutmu terlalu kasar! Ahahaha!]

A—[D, Karena aku tahu segalanya!]

D—[A, Oiya? Bagaimana caranya? Kuharap bukan omong kosong. Ahahaha!]

C—[B, Aku harus apa?]

A—[D, Asal kau tahu sialan yang umurnya tinggal sehari, aku punya bakat hebat!]

B—[C, Kau ingin menjadi apa saat dewasa nanti?] [A, Bakat apa?]

D—[A, Oiya? Bukankah itu omong kosong?]

A—[Aku bisa melihat detak jantung orang lain! Kalau berbohong, detak jantungnya akan cepat]

C—[B, Saat besar nanti, aku akan jadi orang baik]

D—[C, Orang baik sering menjadi karakter utama]

A—[Bagiku C hanyalah karakter sampingan] [D, Jangan abaikan aku! Mau penismu aku potong!?]

D—[Kecil-kecil sudah nista. Ahahaha!]

A—[D, Di sini istanaku! Kalau tidak menuruti kemauanku, kupotong penis kalian!]

B—[A, Huaah, mengerikan]

A—[B, Mau kupotong?]

B—[A, Jangan! Aku hanya punya satu]

A—[B, Kalau begitu, dengar perintahku!]

D—[A, Tidak kedengaran, mana suaramu? Ahahaha!]

>>A, mengusir D

C—[A, Jangan usir aku]

B—[A, Ampun Ratu]

A—[Bagus! Kalian telah menjadi bawahanku]

>>D, memasuki ruangan.

D—[Huaah, sepertinya gadis kecil mulai berkuasa]

>>A, mengusir D

>>D, memasuki ruangan

>>A, mengusir D

C—[Ratu, biarkan dia masuk, sepertinya dia ingin berbicara]

>>D, memasuki ruangan.

D—[Maaf-maaf, salahku. Ahahaha!]

A—[D, Kau keras kepala ya!]

D—[A, Begitulah. Ahahaha!]

B—[Jadi, kenapa ada orang tua? Mereka selalu menganggap anak kecil berbohong!]

D—[A, B, C, biarkan aku berbicara sebentar]

C—[D, Silahkan]

D—[C, Oiya? Sepertinya cuman kau anak baik di sini]

B—[C, Kau terlalu baik dengannya]

C—[Karena aku ingin menjadi orang baik]

A—[C, Aku tidak membutuhkan itu]

D—[A Adalah gadis nakal yang ingin menjadi pemimpin]

A—[D, Bersikap sopan lah denganku!]

D—[Ahahaha! Biarkan aku berbicara sebentar]

C—[D, Silahkan]

B—[D, Kau terlalu mencurigakan]

D—[B, Itu bagus! Syarat menjadi detektif adalah meragukan semua perkataan orang lain]

B—[D, Benarkah?]

D—[B, Benar! Dengan begitu, kau bisa menyelesaikan semua kasus!]

A—[Aku tidak perlu itu. Aku bisa tahu mana yang benar, mana yang salah!]

D—[A, Tetapi kau perlu bertatap muka dengan orang lain. Kau yang belum pernah bertemu denganku, mana tahu aku orang jahat. Ahahaha!]

B—[D, Orang jahat tidak pernah mengaku]

A—[B, Betul! Kau harus percaya denganku, karena aku punya bakat!]

C—[Enak ya… A punya bakat, B seorang detektif. Aku hanyalah orang baik]

D—[C, Oiya? Justru orang baik paling hebat menurutku]

A—[D, Orang baik bisa apa?]

D—[Banyak, contohnya …Sebuah kerajaan akan runtuh kalau Sang Ratu selalu emosi. Jadi, dia membutuhkan penasehat yang baik agar menenangkan emosinya] [B, Detektif terkadang putus asa. Jadi, dia membutuhkan partner yang baik agar bisa memberi semangat]

B—[D, Jadi begitu. Tidak salah aku mencari sekutu]

C—[D,Aku harus apa?]

A—[D, Untuk orang tua yang mesum, pedofil, dan menjijikkan, kau bisa berkata bijak juga ya]

D—[A, Mulutmu itu ya. Ahahaha!] [B, Carilah sekutu. Ingat, kau harus meragukan perkataan orang lain] [C, Belajarlah mengenai ekspresi, agar kau bisa membantu banyak orang]

B—[D, Terima kasih]

C—[D, Terlalu rumit, hiks. Akan kuusahakan!]

A—[D, Tidak ada saran untukku?]

D—[A, Ternyata kau manja juga, ya. Ahahaha! Kalau begitu, terus kembangkan bakatmu]

A—[Perkumpulan cilik, BERSATU!]

B—[Yeaaaaaahhhh!!!]

C—[HORE!!!]

D—[Pfft… Perkumpulan cilik? Bagiku kalian hanyalah anak-anak yang kurang ajar]

A—[D, Apa kau bilang?]

B—[D, Anda sendiri, ingin jadi apa di usia yang hampir habis?]

D—[Apa ya… Menculik kalian. Ahahaha!]

A—[D, JAHANAM!!!]

B—[D, BIADAB!!!]

C—[Aaaaaa, pedofil?]

D—[Kurang ajar. Apa kalian tahu, ini sudah tengah malam, besok sekolah! Ahahaha!]

A—[D, JAHANAM!!!]

B—[D, BIADAB!!!]

>>A, B, meninggalkan ruangan.

C—[Aku harus bilang apa?]

D—[C, Puji aku]

C—[D, Selamat tinggal pedofil]

>>C, meninggalkan ruangan.

D—[Dasar anak-anak. Ahahaha! Lagipula, mereka akan kuculik nantinya]

>>D, meninggalkan ruangan.

>>Ruangan dihapus